sebutkan dan jelaskan pembagian hadits berdasarkan kuantitasnya

Halo Tutorialpintar, dalam artikel ini kita akan membahas mengenai pembagian hadits berdasarkan kuantitasnya. Pembagian ini menjadi penting sebagai salah satu cara untuk mengklasifikasikan dan memahami tingkat kekuatan dan keabsahan hadits. Berikut ini adalah pembagian hadits berdasarkan kuantitasnya:

1. Hadits Mutawatir

Hadits Mutawatir adalah hadits yang diriwayatkan oleh sejumlah besar perawi dalam setiap tingkatan perawinya, sehingga keabsahannya tidak diragukan lagi. Setiap perawi tersebut memiliki kesepakatan dan kesaksian dalam meriwayatkan hadits tersebut. Alasan mengapa hadits ini dianggap kuat adalah karena tidak mungkin terjadi kesepakatan besar dan bersamaan antara para perawi untuk membuat kesalahan atau menyebarkan berita palsu.

Contoh hadits Mutawatir adalah hadits tentang shalat lima waktu.

Keistimewaan hadits mutawatir adalah di dalamnya terdapat banyak instruksi dan ajaran yang berlaku umum. Oleh karena itu, hadits ini sangat penting dalam memahami agama Islam secara komprehensif.

Hadits mutawatir sering digunakan sebagai landasan hukum dalam menetapkan hukum-hukum syariah.

Berdasarkan kuantitasnya, hadits mutawatir terbagi menjadi dua kategori, yakni hadits mutawatir lafdzi (kata demi kata), dan hadits mutawatir ma’nawi (makna yang sama).

2. Hadits Ahad

Hadits Ahad adalah hadits yang hanya diriwayatkan oleh sejumlah kecil perawi, tidak mencapai ambang batas mutawatir. Meskipun demikian, hadits ini tetap memiliki kedudukan dan keabsahan. Keabsahan hadits ahad tergantung pada integritas perawi dan kualitas sanadnya, serta pemeriksaan oleh ulama hadits.

Contoh hadits ahad adalah hadits mengenai banyak hal yang diriwayatkan oleh sahabat tertentu, seperti Abu Hurairah atau Aisyah.

Dalam mengambil hukum dari hadits ahad, kita memerlukan perhatian dan penilaian yang lebih ketat, karena adanya tingkat ketidakpastian yang lebih tinggi dibandingkan dengan hadits mutawatir. Oleh karena itu, diperlukan pemahaman mendalam tentang metodologi hadits dan kualifikasi membedakan hadits sahih, hasan, atau dhaif.

Setiap hadits ahad harus diperiksa sanad (rantai perawi) dan matan (teks hadits)nya untuk mengukur tingkat kehandalannya.

Perlu diingat bahwa hadits ahad tetap memiliki kekuatan hukum jika ditemukan dalam bentuk sahih dan sesuai dengan metode kritik hadits yang berlaku.

3. Hadits Masyhur

Hadits masyhur adalah jenis hadits yang memiliki periwayatan yang umum dan terkenal di kalangan para ulama hadits. Meskipun jumlah perawinya tidak mencapai tingkat mutawatir, hadits ini masih dianggap sahih dan memiliki kedudukan yang kuat.

Contoh hadits masyhur adalah hadits-hadits yang diriwayatkan oleh Imam Malik dalam kitabnya Al-Muwatta, atau yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim dalam kitab Shahih mereka.

Seorang ulama harus memiliki pemahaman mendalam tentang ilmu hadits untuk dapat membedakan antara hadits masyhur yang sahih dengan hadits yang lemah atau palsu.

Penting untuk tetap waspada terhadap hadits-hadits masyhur dan memastikan keabsahan dan kekuatan hukumnya.

4. Hadits Syadh

Hadits syadh adalah jenis hadits yang memiliki maksud atau tujuan tertentu dalam meriwayatkannya. Meskipun kuantitasnya tidak mencapai ambang batas mutawatir, hadits ini masih memiliki kekuatan hukum dan keabsahan.

Contoh hadits syadh adalah hadits-hadits yang mengajarkan keutamaan ibadah tertentu, seperti shalat sunnah rawatib atau puasa sunnah Senin dan Kamis.

Meskipun hadits ini tidak mendapatkan dukungan kuantitas yang besar, tetapi tetap memiliki kedudukan dan fungsinya dalam memberikan petunjuk, motivasi, dan panduan dalam menjalankan ibadah kepada umat Islam.

Dalam memahami hadits syadh, perlu disertai dengan niat dan keikhlasan dalam menjalankan amalan yang diajarkan oleh hadits tersebut.

5. Hadits Mashhur

Hadits mashhur adalah jenis hadits yang memiliki periwayatan yang banyak dikenal oleh masyarakat umum dan bukan hanya kalangan ulama hadits. Permasyhuran hadits bisa disebabkan oleh banyaknya kutipan dalam literatur keagamaan, pengulangan dalam khutbah Jumat, atau informasi yang tersebar di masyarakat.

Contoh hadits mashhur adalah hadits yang sering disebutkan tentang akhlak dan adab dalam kehidupan sehari-hari, seperti hadits menganjurkan menyapa dengan salam kepada sesama muslim.

Dalam menjadikan hadits mashhur sebagai pedoman hidup, kita harus menggunakan prinsip dasar syariat Islam dan memastikan bahwa hadits tersebut benar-benar sahih dan sesuai dengan metodologi hadits yang berlaku.

Perlu diingat bahwa tidak semua hadits mashhur memiliki status yang kuat, sehingga perlu diperiksa keaslian dan keabsahan sumbernya.

6. Hadits Aziz

Hadits aziz adalah jenis hadits yang memiliki tingkat keshahihan yang tinggi, meskipun perawinya tidak mencapai angka mutawatir. Kualitas sanad hadits aziz diperiksa secara ketat oleh ulama hadits untuk memastikan keabsahan dan keasliannya.

Contoh hadits aziz adalah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Tirmidzi dalam kitab Jami’nya atau Imam Abu Dawud dalam kitab Sunannya.

Meskipun hadits ini tidak mencapai tingkat mutawatir, tetapi tetap dianggap sebagai hadits yang memiliki kedudukan tinggi dan dapat dijadikan sebagai landasan hukum.

Dalam mengambil hukum dari hadits aziz, kita perlu memperhatikan tingkat kepercayaan pada perawi dan kualitas rangkaian perawinya.

Perlu diingat bahwa tidak semua hadits aziz memiliki tingkat keabsahan yang sama, sehingga perlu melakukan pengecekan dan verifikasi terlebih dahulu.

7. Hadits Hasan

Hadits hasan adalah jenis hadits yang memiliki tingkat kualitas di bawah hadits sahih. Meskipun demikian, hadits ini masih memiliki kedudukan yang baik dan dapat digunakan sebagai rujukan dalam masalah agama tertentu.

Contoh hadits hasan adalah hadits yang memenuhi syarat syahid-sanad, yaitu hadits yang memiliki tambahan perawi yang bisa menguatkan atau melemahkan tingkat kebenaran hadits tersebut.

Mengetahui sebuah hadits hasan sangat penting, karena ketika terdapat perbedaan antara hadits sahih dan hadits dhaif, maka hadits hasan menjadi salah satu faktor penentu dalam menentukan status keabsahan hadits tersebut.

Untuk dapat memahami hukum dari hadits hasan, kita harus memperhatikan kualitas perawi dan rangkaian perawinya.

Perlu diingat bahwa hadits hasan tidak memiliki tingkat kekuatan dan keabsahan yang sama seperti hadits sahih, sehingga perlu disikapi dengan hati-hati dalam pengambilan hukum agama.

8. Hadits Dhaif

Hadits dhaif adalah jenis hadits yang memiliki tingkat kelemahan dan keabsahan yang rendah. Biasanya, hadits ini memiliki cacat dalam sanad atau matan, sehingga tidak dapat dijadikan sebagai landasan hukum dalam agama Islam. Hadits dhaif dapat disebabkan oleh banyak faktor, seperti perawi yang tidak dikenal kejujurannya atau adanya kesalahan dalam meriwayatkan hadits.

Meskipun hadits dhaif memiliki tingkat keabsahan yang rendah, tetapi masih memiliki nilai sebagai rujukan dalam sebagian masalah fiqih.

Contoh hadits dhaif adalah hadits yang diriwayatkan oleh perawi yang dhaif atau hadits yang memiliki cacat dalam rangkaian perawinya.

Dalam mengambil hukum dari hadits dhaif, kita harus berhati-hati dan menggunakan kaidah-kaidah kritik hadits yang berlaku untuk memastikan tingkat kebenaran dan keabsahannya.

Perlu diingat bahwa hadits dhaif tidak dapat dijadikan sebagai landasan hukum yang pasti, sehingga perlu menyikapinya dengan bijak dan hati-hati.

9. Hadits Maudhu

Hadits maudhu adalah jenis hadits yang merupakan hadits palsu atau dibuat-buat. Hadits ini tidak memiliki dasar dan tidak ada hubungannya dengan ajaran Islam yang sebenarnya. Hadits maudhu sering kali digunakan oleh pihak yang tidak bertanggung jawab untuk menyebarkan informasi yang keliru atau mencemarkan citra agama Islam.

Meskipun hadits maudhu tidak memiliki keabsahan dan kualitas apapun, namun kita harus tetap waspada terhadap penyebaran hadits semacam ini dan tidak mempercayainya begitu saja.

Contoh hadits maudhu adalah hadits-hadits yang mengandung pembohongan atau penipuan, serta tidak ada dasar dari ketentuan atau ajaran agama Islam yang valid.

Dalam penyebaran Islam, kita harus memastikan kebenaran dan keabsahan hadits yang kita bagikan kepada orang lain, agar tidak terjadi penyebaran informasi yang salah dan merugikan diri sendiri serta orang-orang lain.

Perlu diingat bahwa hadits maudhu harus dihindari dan tidak boleh menjadi dasar dalam mengambil hukum agama.